Kalau cinta itu ada bukan karena rasa, aku tidak mungkin pergi dari dokterku yang selalu memberi obat penyembuh seperti dia, seperti heroin yang selalu membuatku ketagihan, seperti coklat pada gigitan pertama. Kalau cinta itu bukan rasa, aku tidak usah sepusing ini buat pergi dan kalau cinta itu bukan rasa, mungkin sampai sekarang kami masih bertahan.
Cinta memang hanya sebuah rasa yang gak bisa dipaksa. Aku rela melepasmu asalkan kamu bisa bahagia bersamanya.
Mungkin sia-sia juga perjalananku ke Solo tuk menemuimu. Baru kemarin rasanya kamu membuatku melesat secepat kilat namun juga menerjunkanku bebas dan tersungkur kandas. Rasanya jumpalitan persis rollercoaster. Berharap kamu datang dan menemuiku, tapi entahlah pa yang membuatmu menjauhiku. Andaikan cinta tu bukan sebuah rasa mungkin sederhana aku menyelesaikan hatiku. Tapi cinta hanya sebuah rasa yang kadang sederhana tak terbaca tapi menyilaukan.
Kamu...ya..kamu...lagi-lagi kamu selalu membuat keputusan yang aku gak paham, sebuah kalimat yang mungkin sakit buat dirasain daripada didengar. Tapi aku tetap kekeh buat gak mau tau. Aku pengin kamu kembali di detik ini...Detik dimana kamu disini menemaniku dan menjagaku. Detik dimana segala pilihan dan opsi kita lalui bersama. Tapi semua telah sia-sia, semua kembali pada keegoan kita masing-masing. Karena aku merasakan, bukan memilih. Bukan sekedar merasai rasa memilikimu tapi bagaimana menghargai setiap moment yang kita lalui bersama. Bukan tujuan akhir tapi proses perjalanan kita dan selebihnya, aku yang merasakan. Aku tidak pernah memilih. Karena memilih itu hanya melihat, bukan merasakan.
Terima kasih buat semuanya yang kamu berikan padaku, terutama peran dokternya yang menyuntikanku obat bener-bener kayak heroin yang membuatku sakau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar